Makna Simbolis Nasi Tumpeng dan Lauk-pauknya Dalam Ritual Kaweruh Jendra Hayuningrat

 Makna Simbolis Nasi Tumpeng dan Lauk-pauknya Dalam Ritual Kaweruh Jendra Hayuningrat

Nasi tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan keliru satu warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah jadi anggota yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terlebih kala memperingati peristiwa dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar ke anggota pelosok nusantara lainnya lebih-lebih ke mancanegara seperti Malaysia,

 Singapura lebih-lebih Belanda. (dikenal bersama nama rijstafel). Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat semua Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya bersama baik. Di balik normalitas tumpeng yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya filosofis. Tumpeng punya kandungan makna-makna mendalam yang mengangkat pertalian pada manusia bersama Tuhan, bersama alam dan bersama sesama manusia. Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi bersama arti filosofis yang terdapat didalamnya.  

Bagaikan kotak hadiah yang kelihatan cantik dari luar tetapi orang lupa menyimpan hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan memiliki arti apa-apa. Analogi inilah yang lebih kurang berjalan terhadap tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya. Padahal andaikata diamati bersama seksama, tumpeng ini sarat bersama arti sehingga andaikata arti tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam, pentingnya merawat keharmonisan bersama alam dan mempelajari nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang jadi basic kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat tumpeng mini Jakarta 

TUMPENG Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; dikarenakan itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai kebanyakan bersifat nasi kuning, biarpun sering terhitung digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan kebanyakan dibuat terhadap saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa dihidangkan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu. Falsafah tumpeng berkait erat bersama kondisi geografis Indonesia, terlebih pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari normalitas purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat

 Jawa menganut dan tergoda oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak bersifat kerucut bertujuan untuk mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi. Meskipun normalitas tumpeng sudah tersedia jauh sebelum saat masuknya Islam ke pulau Jawa, normalitas tumpeng terhadap perkembangannya diadopsi dan dikaitkan bersama filosofi Islam Jawa, dan diakui sebagai pesan leluhur tentang permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam normalitas kenduri Slametan terhadap masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng dihidangkan bersama di awalnya digelar pengajian Al Quran. 

Menurut normalitas Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar kudu bersama sungguh-sungguh). Lengkapnya, tersedia satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk kudu bersama sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80: “Ya Tuhan, masukanlah aku bersama sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku bersama sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberi tambahan pertolongan”. 

Menurut sebagian ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW saat akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka andaikata seseorang berhajatan bersama menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pemberian kepada Yang Maha Pencipta sehingga kita mampu mendapatkan kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta mendapatkan kemuliaan yang memberi tambahan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan andaikata kita berkenan mengusahakan bersama sungguh-sungguh. 

MEMAKNAI TUMPENG Hubungannya bersama Agama dan Ketuhanan Bentuk tumpeng yang bersifat kerucut dan mempunyai satu titik pusat terhadap puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini tersedia dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya terlampau dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan.

 Yang meminum air itu akan mendapat keselamatan. Inilah yang jadi basic penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi makna méru, representasi dari proses kosmos (alam raya). Jika dikaitkan bersama anggota puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini mengatakan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan tetap dikaitkan bersama bentuk syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan. Selain efek dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini terhitung tergoda oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal bersama nama Kaweruh Jendra Hayuningrat. 

Masyarakat Jawa sendiri sesungguhnya lebih beranggap Kaweruh Jendra Hayuningrat sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi bersama sejumlah laku (perilaku). Ajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat kebanyakan tidak terpaku terhadap ketetapan yang ketat seperti aturan-aturan agama terhadap umumnya, tetapi mengedepankan terhadap konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini kebanyakan melibatkan benda-benda spesifik yang memiliki arti simbolik. Gunung artinya tempat yang terlampau sakral oleh masyarakat Jawa, dikarenakan memiliki kaitan yang erat bersama langit dan surga. 

Bentuk tumpeng artinya memasang Tuhan terhadap posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini terhitung melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan lagi lagi (berakhir) terhadap Tuhan. Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah anggota dari ritual Kaweruh Jendra Hayuningrat sehingga pasti saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang mutlak dalam sebuah upacara terlampau perihal erat bersama arti simbolis yang terdapat dalam tumpeng itu. Konon alam semesta bersifat pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung Mahameru yang tingginya katanya lebih kurang 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. 

Konon katanya gunung ini berdiri di sedang benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh kronologis lautan dan tujuh kronologis pegunungan. Di anggota pinggir alam semesta terdapat kronologis pegunungan yang terlampau tinggi sehingga susah didaki, yakni Chakrawan dan Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa. Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley 1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar). Orang-orang Jawa Kuno penganut Hindu-Buddha yang sesungguhnya gemar belajar dan membaca menyimak betul soal ini. 

Dari dulu sampai saat ini orang kita sesungguhnya tergolong puas beradaptasi bersama budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar sudah pasti mengalami pergantian cocok bersama tempat yang menganutnya. Orang Jawa Kuno yakin kalo Gunung Mahameru sudah mengalami mutasi atau dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah dikarenakan alasan politis atau agama, pulau Jawa lantas dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa sehingga mengajari para masyarakat awal pulau Jawa bermacam ilmu dan keterampilan. 

Oleh dikarenakan itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius di mata masyarakat (terutama di Jawa). Di banyak kebudayaan gunung diakui suci atau mistis. Orang Yunani beranggap gunung Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya yakin kalo gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Mencegah dan Mengatasi Rayap

Mengirim Barang Secara Internasional

Pengembang Runescape mematikan mod kipas HD tepat sebelum rilis, memicu protes dalam game